Jendela Perempuan Adat

Previous
Next
Perempuan adat atau lebih luasnya perempuan yang tinggal di pedesaan, apalagi perempuan muda, adalah kelompok yang paling tak didengar dan dilihat di industri media. Setiap hari jurnalis menyodorkan alat rekam dan kamera pada laki-laki setengah baya yang tinggal di kota: pejabat publik, politisi, pengacara, polisi, hakim, pengusaha.
 
Jendela Perempuan Adat adalah upaya kami meningkatkan “keterlihatan dan keterdengaran” mereka yang paling diabaikan di industri media massa. Ini adalah sebuah direktori profil perempuan, individual maupun kolektif, yang bisa membuka wawasan kita tentang karya-karya mereka: mereka yang menjaga alam dan budaya, garda depan ketahanan pangan, dan melawan penguasa yang zalim. Mereka adalah para perempuan yang mengubah dunia menjadi lebih baik untuk semua orang, apapun gendernya, kelasnya, dan usianya.
Tunggu Tubang Herliati (kiri) bersama anaknya Hujjatun (kanan) di pinggir sawah di Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.

Anak perempuan tertua di Semende, Sumatra Selatan, tidak hanya berperan sebagai ibu tetapi juga penjaga bumi. Mereka secara otomatis bertindak sebagai Tunggu Tubang, dan berhak menjaga, mengelola, memelihara harta warisan serta mengambil dan memanfaatkan hasilnya.

head-project-multatuli

Setelah jadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, kawasan Pantai Kuta Lombok Tengah mulai bersolek. Pembangunan megaproyek Sirkuit Mandalika dibarengi dengan pembangunan infrastruktur pariwisata lain seperti jalan, pusat perbelanjaan, hotel, hingga diskotek. Alih-alih kesejahteraan, perempuan Sasak di sekitar KEK Mandalika justru menerima dampak buruk berlapis dan makin dipinggirkan.

head-project-multatuli