Jendela Perempuan Adat

Previous slide
Next slide
Perempuan adat atau lebih luasnya perempuan yang tinggal di pedesaan, apalagi perempuan muda, adalah kelompok yang paling tak didengar dan dilihat di industri media. Setiap hari jurnalis menyodorkan alat rekam dan kamera pada laki-laki setengah baya yang tinggal di kota: pejabat publik, politisi, pengacara, polisi, hakim, pengusaha.
 
Jendela Perempuan Adat adalah upaya kami meningkatkan “keterlihatan dan keterdengaran” mereka yang paling diabaikan di industri media massa. Ini adalah sebuah direktori profil perempuan, individual maupun kolektif, yang bisa membuka wawasan kita tentang karya-karya mereka: mereka yang menjaga alam dan budaya, garda depan ketahanan pangan, dan melawan penguasa yang zalim. Mereka adalah para perempuan yang mengubah dunia menjadi lebih baik untuk semua orang, apapun gendernya, kelasnya, dan usianya.
Ince Mawar difoto saat sedang duduk di kursi bersama seekor kucing bercorak putih-oranye.

Intje Mawar Lasasi Abdullah adalah perempuan kelahiran 8 November 1943. Dikenal sebagai salah satu veteran penari dan budayawan perempuan. Berbagai jenis kreasi tari yang berasal dari Sulteng tak lepas dari kontribusinya. Sejak akhir 1960-an, Intje Mawar yang pernah berguru tari di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, berusaha menggali dan menciptakan tarian yang diangkat dari upacara adat Suku Kaili.

Mama Laurensia Yame, seorang perempuan suku Awyu, menyusuri Sungai Digul sembari mencerna kehidupan masa lalunya yang jungkir balik ditelan raksasa sawit. Di tepi sungai, anak-anak berlari dan bermain di ruang hidup yang polos di masa depan hutan Papua yang tersisa. Tatkala perusahaan datang menggusur tanah yang telah mereka diami selama ribuan tahun bahkan dari nenek moyang dahulu, nyanyian Mama Lihat Awan Jatuh itu terdengar sayup-sayup, “Kami manusia tidak tahu harus ke mana”.